Pernahkah Anda menangis -dalam
keadaan sendirian- karena takut siksa Allâh Ta’ala? Ketahuilah, sesungguhnya
hal itu merupakan jaminan selamat dari neraka. Menangis karena takut kepada
Allâh Ta’ala akan mendorong seorang hamba untuk selalu istiqâmah di
jalan-Nya, sehingga akan menjadi perisai dari api neraka. Nabi Shallallâhu
'Alaihi Wasallam bersabda:
“Tidak akan masuk
neraka seseorang yang menangis karena takut kepada Allâh sampai air susu
kembali ke dalam teteknya. Dan debu di jalan Allâh tidak akan berkumpul dengan
asap neraka Jahannam”.(
HR. AT-TIRMIDZI, AN-NAS‘, AHMAD , AL-HÂKIM)
MENGAPA HARUS MENANGIS?
Seorang Mukmin yang mengetahui
keagungan Allâh Ta’ala dan hak-Nya, setiap dia melihat dirinya banyak
melalaikan kewajiban dan menerjang larangan, akan khawatir dosa-dosa itu akan
menyebabkan siksa Allâh Ta’ala kepadanya.
Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi
wasallam bersabda:
"Sesungguhnya seorang Mukmin
itu melihat dosa-dosanya seolah-olah dia berada di kaki sebuah gunung, dia
khawatir gunung itu akan menimpanya. Sebaliknya, orang yang durhaka melihat
dosa-dosanya seperti seekor lalat yang hinggap di atas hidungnya, dia
mengusirnya dengan tangannya –begini–, maka lalat itu terbang”.(HR. AT-TIRMIDZI, NO. 2497 DAN
DISHAHÎHKAN OLEH AL-ALBÂNI -RAHIMAHULLÂH-)
Ibnu Abi Jamrah rahimahullâh
berkata,“Sebabnya adalah, karena hati seorang Mukmin itu diberi cahaya. Apabila
dia melihat pada dirinya ada sesuatu yang menyelisihi hatinya yang diberi
cahaya, maka hal itu menjadi berat baginya. Hikmah perumpamaan dengan gunung
yaitu apabila musibah yang menimpa manusia itu selain runtuhnya gunung, maka
masih ada kemungkinan mereka selamat dari musibah-musibah itu. Lain halnya
dengan gunung, jika gunung runtuh dan menimpa seseorang, umumnya dia tidak akan
selamat. Kesimpulannya bahwa rasa takut seorang Mukmin (kepada siksa Allâh
Ta’ala -pen) itu mendominasinya, karena kekuatan imannya menyebabkan dia tidak
merasa aman dari hukuman itu. Inilah keadaan seorang Mukmin, dia selalu takut
(kepada siksa Allâh-pen) dan bermurâqabah (mengawasi Allâh). Dia menganggap
kecil amal shalihnya dan khawatir terhadap amal buruknya yang kecil”.(Tuhfatul Ahwadzi, no. 2497)
Apalagi jika dia memperhatikan
berbagai bencana dan musibah yang telah Allâh Ta’ala timpakan kepada
orang-orang kafir di dunia ini, baik dahulu maupun sekarang. Hal itu membuatnya
tidak merasa aman dari siksa Allâh Ta’ala.
Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:
“Dan begitulah adzab Rabbmu
apabila Dia mengadzab penduduk
negeri-negeri yang berbuat zhalim. Sesungguhnya adzab-Nya sangat pedih lagi
keras. Sesungguhnya pada peristiwa itu
benar-benar terdapat pelajaran bagi
orang-orang yang takut kepada adzab akhirat. Hari Kiamat itu adalah suatu hari dimana manusia dikumpulkan untuk
(menghadapi)-Nya, dan hari itu adalah
suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk). Dan Kami tiadalah mengundurkannya,
melainkan sampai waktu yang tertentu. Saat
hari itu tiba, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya;
maka di antara mereka ada yang celaka
dan ada yang bahagia. Adapun orang-orang
yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik
nafas (dengan merintih)”. (QS. HÛD : 102-106)
Ketika dia merenungkan berbagai kejadian yang mengerikan pada hari Kiamat, berbagai kesusahan dan beban yang menanti manusia di akhirat, semua itu pasti akan menggiringnya untuk takut kepada Allâh Ta’ala al-Khâliq.
Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:
“Hai manusia, bertakwalah kepada
Rabbmu. Sesungguhnya kegoncangan hari
Kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). (Ingatlah), pada hari
(ketika) kamu melihat kegoncangan itu, semua wanita yang menyusui anaknya lalai
terhadap anak yang disusuinya, dan semua wanita yang hamil gugur kandungan. Kamu melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk. Akan
tetapi adzab Allâh itu sangat keras”. (QS. AL-HAJJ : 1-2)
Demikianlah sifat orang-orang yang
beriman. Di dunia, mereka takut terhadap siksa Rabb mereka, kemudian berusaha
menjaga diri dari siksa-Nya dengan takwa, yaitu melaksanakan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya. Maka, Allâh Ta’ala memberikan balasan sesuai dengan
jenis amal mereka. Dia memberikan keamanan di hari Kiamat dengan memasukkan
mereka ke dalam surga-Nya.
Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:
“Dan sebagian mereka (penghuni
surga-pent) menghadap kepada sebagian
yang lain; mereka saling bertanya. Mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami dahulu sewaktu berada di
tengah-tengah keluarga, kami merasa
takut (akan diadzab)”. Kemudian Allâh
memberikan karunia kepada kami dan
memelihara kami dari azab neraka. Sesungguhnya
kami dahulu beribadah kepada-Nya. Sesungguhnya Dia-lah yang melimpahkan
kebaikan lagi Maha Penyayang”. (QS.
ATH-THÛR : 25-28)
ILMU ADALAH SEBAB TANGISAN KARENA ALLÂH TA'ALA
Semakin bertambah ilmu agama seseorang, semakin tambah pula takutnya terhadap keagungan Allâh Ta’ala.
Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:
“Dan demikian (pula) di antara manusia,
binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak, ada yang bermacam-macam
warna (dan jenisnya). Sesungguhnya yang
takut kepada Allâh di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama. Sesungguhnya Allâh Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun”. (QS FÂTHIR : 28)
Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Surga dan neraka ditampakkan
kepadaku, maka aku tidak melihat
kebaikan dan keburukan seperti hari ini. Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui,
kamu benar-benar akan sedikit tertawa
dan banyak menangis”.
Anas bin Mâlik radhiyallâhu'anhu –perawi
hadits ini- mengatakan,
“Tidaklah ada satu hari pun yang
lebih berat bagi para Sahabat selain hari itu. Mereka menutupi kepala mereka sambil menangis
sesenggukan”. (HR. MUSLIM)
Imam Nawawi rahimahullâh berkata,
“Makna hadits ini, ‘Aku tidak pernah
melihat kebaikan sama sekali melebihi apa yang telah aku lihat di dalam surga
pada hari ini. Aku juga tidak pernah melihat keburukan melebihi apa yang telah
aku lihat di dalam neraka pada hari ini. Seandainya kamu melihat apa yang telah
aku lihat dan mengetahui apa yang telah aku ketahui, semua yang aku lihat hari
ini dan sebelumnya, sungguh kamu pasti sangat takut, menjadi sedikit tertawa dan
banyak menangis”. (SYARH MUSLIM, NO. 2359)
Hadits ini menunjukkan anjuran
menangis karena takut terhadap siksa Allâh Ta’ala dan tidak memperbanyak
tertawa, karena banyak tertawa menunjukkan kelalaian dan kerasnya hati.
Lihatlah para Sahabat Nabi radhiyallâhu'anhum, begitu mudahnya mereka tersentuh oleh nasehat! Tidak sebagaimana kebanyakan orang di zaman ini. Memang, mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya, paling banyak pemahaman agamanya, paling cepat menyambut ajaran agama. Mereka adalah Salafus Shâlih yang mulia, maka selayaknya kita meneladani mereka. (LIHAT BAHJATUN NÂZHIRÎN SYARH RIYÂDHUS SHÂLIHIN 1/475; NO. 41)
Lihatlah para Sahabat Nabi radhiyallâhu'anhum, begitu mudahnya mereka tersentuh oleh nasehat! Tidak sebagaimana kebanyakan orang di zaman ini. Memang, mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya, paling banyak pemahaman agamanya, paling cepat menyambut ajaran agama. Mereka adalah Salafus Shâlih yang mulia, maka selayaknya kita meneladani mereka. (LIHAT BAHJATUN NÂZHIRÎN SYARH RIYÂDHUS SHÂLIHIN 1/475; NO. 41)
Seandainya kita mengetahui bahwa
tetesan air mata karena takut kepada Allâh Ta’ala merupakan tetesan yang paling
dicintai oleh Allâh Ta’ala, tentulah kita akan menangis karena-Nya atau
berusaha menangis sebisanya. Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
menjelaskan keutamaan tetesan air mata ini dengan sabda Beliau:
“Tidak ada sesuatu yang yang
lebih dicintai oleh Allâh daripada dua
tetesan dan dua bekas. Tetesan yang berupa air mata karena takut kepada Allâh dan tetesan darah yang ditumpahkan di jalan
Allâh. Adapun dua bekas, yaitu bekas di
jalan Allâh dan bekas di dalam
(melaksanakan) suatu kewajiban dari
kewajiban-kewajiban-Nya”.
Namun yang perlu kita perhatikan
juga bahwa menangis tersebut adalah benar-benar karena Allâh Ta’ala, bukan
karena manusia, seperti dilakukan di hadapan jama’ah atau bahkan dishooting TV
dan disiarkan secara nasional. Oleh karena itu Nabi Shallallâhu 'Alaihi
Wasallam menjanjikan kebaikan besar bagi seseorang yang menangis dalam
keadaan sendirian. Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Tujuh (orang) yang akan diberi
naungan oleh Allâh pada naungan-Nya di
hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. ...... (di antaranya): Seorang
laki-laki yang menyebut Allâh di tempat yang sepi sehingga kedua matanya
meneteskan air mata”. (HR. AL-BUKHÂRI, NO. 660; MUSLIM, NO. 1031)
Hari Kiamat adalah hari pengadilan
yang agung. Hari ketika setiap hamba akan mempertanggung-jawabkan segala amal
perbuatannya. Hari saat isi hati manusia akan dibongkar, segala rahasia akan
ditampakkan di hadapan Allâh Yang Maha Mengetahui lagi Maha Perkasa. Maka
kemana orang akan berlari? Alangkah bahagianya orang-orang yang akan
mendapatkan naungan Allâh Ta’ala pada hari itu. Dan salah satu jalan
keselamatan itu adalah menangis karena takut kepada Allâh Ta’ala.
Syaikh Muhammad bin Shâlih
al-‘Utsaimîn rahimahullâh berkata,
“Wahai saudaraku, jika engkau
menyebut Allâh Ta’ala, sebutlah Rabb-mu dengan hati yang kosong dari memikirkan
yang lain. Jangan pikirkan sesuatu pun selain-Nya. Jika engkau memikirkan
sesuatu selain-Nya, engkau tidak akan bisa menangis karena takut kepada Allâh
Ta’ala atau karena rindu kepada-Nya. Karena, seseorang tidak mungkin menangis
sedangkan hatinya tersibukkan dengan sesuatu yang lain. Bagaimana engkau akan
menangis karena rindu kepada Allâh Ta’ala dan karena takut kepada-Nya jika
hatimu tersibukkan dengan selain-Nya?".
Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Seorang laki-laki yang menyebut
Allâh di tempat yang sepi”, yaitu
hatinya kosong dari selain Allâh Ta’ala, badannya juga kosong (dari orang
lain), dan tidak ada seorangpun di
dekatnya yang menyebabkan tangisannya menjadi riyâ’ dan sum’ah. Namun, dia
melakukan dengan ikhlas dan konsentrasi”.(SYARH RIYÂDHUS SHÂLIHÎN 2/342,
NO. 449)
Setelah kita mengetahui hal ini, maka alangkah pantasnya kita mulai menangis karena takut kepada Allâh Ta’ala.
Wallâhul Musta’ân.
Oleh: Ustadz Abu Isma’il Muslim
al-Atsari
Reference Majalah Assunah
Rewritten by Rendi Firnando
0 komentar:
Posting Komentar