Ada dua hal
yang sering terlupakan oleh kaum muslimin pada umumnya dalam masalah berdo’a,
yaitu tergesa-gesa dalam meminta pengabulan do’a dan tidak terus
menerus dalam berdo’a. padahal hal ini merupakan dua hal dari sekian banyak
hal yang harus diperhatikan oleh seorang abdullah (hamba Allah) ketika
ia berdo’a. Untuk itulah kami sedikit kupas masalah ini sekadar kemampuan dan
ilmu yang ada pada kami.
Pertama, tergesa-gesa dalam do’a, Imam Al Muhaqqiq Ibnu Qoyyim
Al Jauziyah –rohmatullah ‘alaihi rahmatan wasi’an- mengatakan
dalam kitabnya Ad Daa’u wad Dawaa’u[1],
“salah
satu kesalahan yang menghalangi adanya atsar/bekas dari do’a adalah seorang
hamba tergesa-gesa dalam berdo’a. Ia menganggap Allah lambat mengabulkan
do’anya yang akhirnya ia meninggalkan berdo’a kepada Allah” –sekian
perkatan Beliau-.
Maka
penyakit tergesa-gesa dalam berdo’a ini akhirnya akan melahirkan penyakit yang
parah bahkan teramat parah dari yang sebelumnya yaitu, meninggalkan
berdo’a kepada Allah ‘Azza wa Jalla –wal iyyadzu billah-. Padahal
Allah Subhanahu wa Ta’ala murka kepada orang yang enggan berdo’a
kepadaNya, yang mana hal ini tegas sebagaimana Allah firmankan dalam Al
Qur’anul Adzim,
إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ
دَاخِرِينَ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari berdo’a[2] kepadaKu akan masuk
neraka Jahannam dalam keadaan hina”. (QS : Al
Mu’min [40] : 60).
Setelah kita
paham bagaimana buruknya sikap tergesa-gesa dalam do’a, lalu pertanyaan yang
mungkin ada di benak kita adalah ‘Apa bentuk tergesa-gesa dalam berdo’a?’
Maka jawabnya sebagaimana hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam,
يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ يَقُولُ دَعَوْتُ فَلَمْ
يُسْتَجَبْ لِي
“Akan
dikabulkan (do’a) masing-masing kalian selama ia tidak tergesa-gesa dalam
do’anya, (dengan) dia mengatakan, ‘Aku telah berdo’a namun (Allah) tidak
mengabulkannya untukku’”[3].
Demikian
juga sabda Al Mushthofa Shollallahu ‘alaihi wa Sallam,
لَا يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ
رَحِمٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الِاسْتِعْجَالُ
قَالَ يَقُولُ قَدْ دَعَوْتُ وَقَدْ دَعَوْتُ فَلَمْ أَرَ يَسْتَجِيبُ لِي
فَيَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ
“Senantiasa
akan dikabulkan (permintaan/doa) seorang hamba selama dia tidak berdo’a dalam perkara
dosa/itsm[4], perkara
yang memutus silaturrahim, serta selama tidak tergesa-gesa dalam do’anya”.
Salah seorang sahabat bertanya, ‘Apa yang dimaksud ketergesa-gesaan dalam do’a
Ya Rasulullah?’ Beliau mengatakan, “dia mengatakan aku telah berdo’a, aku telah
berdo’a namun aku tidak melihat Allah mengabulkannya untukku’ kemudian ia pun
berpaling dan meninggalkannya[5]”[6].
Demikian
juga dalam hadits yang terdapat dalam musnad Al Imam Ahmad rahimahullah
melalui sahabat Anas Rodhiyallahu ‘anhu,
لَا يَزَالُ الْعَبْدُ بِخَيْرٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ قَالُوا يَا رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ يَسْتَعْجِلُ قَالَ يَقُولُ
دَعَوْتُ رَبِّي فَلَمْ يَسْتَجِبْ لِي
“Senantiasa
seorang hamba berada dalam kebaikan selama ia tidak tergesa-gesa (dalam do’anya
pent.)”. Para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dengan
tergesa-gesa (dalam do’a pent. ) wahai Rasulullah?” Beliau
mengatakan, “Aku telah berdo’a kepada Robbku akan tetapi Dia tidak
mengabulkan permintaanku”[7].
Maka lihatlah wahai saudaraku betapa buruknya dua penyakit ini dan betapa buruknya akibatnya. Ia begitu sering terlihat di depan mata kita sedangkan akibatnya teramat sangat parah yaitu berpalingnya seorang hamba dari berdo’a kepada Robbnya padahal Dialah pemilik alam semesta beserta isinya dan hilangnya kebaikan dari dirinya.
Penyakit yang Kedua, tidak terus menerus dalam berdo’a, Al Imam Al Muhaqqiq Ibnu Qoyyim Al Jauziyah –rohmatullah ‘alaihi rahmatan wasi’an- mengatakan dalam kitab yang sama[8], “Diantara obat yang penawar yang paling bermanfaat adalah terus menerus dalam berdoa”. Kemudian Beliau rahimahullah membawakan hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam,
مَنْ لَمْ يَسْأَلْ اللَّهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, (Allah akan) murka padanya”[9]. Sampai disini perkataan Beliau.
Yang dimaksud dengan (مَنْ لَمْ يَسْأَلْ اللَّهَ) dalam hadits ini adalah tidak mau berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala & tidak mau meminta fadhilah/keutamaan dariNya[10]. Sedangkan yang dimaksud dengan (يَغْضَبْ عَلَيْهِ) “(Allah akan) murka padanya” adalah sebagaimana kata Al Munawi rahimahullah dalam Faidhul Qodhir, hal ini (Allah Ta’ala murka kepadanya) dapat disebabkan karena ia berputus asa (dari do’a, pent.) atau boleh jadi karena ia sombong/enggan berdo’a kepada Allah Jalla Jalaluh dan setiap orang yang memiliki salah satu saja dari dua hal di atas maka Allah akan murka kepadanya”[11].
Maka dari hadits Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam yang mulia ini kita dapat pahami bahwa salah satu bentuk kesalahan dalam bedo’a adalah tidak terus menerus dalam do’a kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Bahkan sebaliknya Allah ‘Azza wa Jalla mencintai orang yang senantiasa berdo’a kepadaNya. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah Rodhiyallahu ‘anha
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ المُلِحِّيْنَ فِيْ الدُّعَاءِ
Sebagai
penutup kami nukilkan perkataan salah seorang salaf yaitu Muwariq,
Beliau mengatakan,
“Aku
tidaklah pernah mendapatkan permisalan bagi seorang mu’min (dalam berdo’apent.
) kecuali sebagaimana seorang laki-laki yang berada di atas kayu di tengah laut
yang ia berdo’a ‘Wahai Robbku, wahai Robbku’ ia berharap Allah ‘Azza wa
Jalla menyelematkannya sampai ke daratan”[13].
Mudah-mudahan
yang sedikit ini bermanfaat bagi kami dan pembaca sekalian, Allahu A’lam
bish Showab
.
.
Yang Selalu
Mengaharapkan Ampunan Robbnya,
Abu Halim
Aditya Budiman As Sijambaaliy
[1] Hal. 18
dengan tahqiq dari Fadhilatusy Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halaby hafidzahullah
terbitan Dar Ibnul Jauzy, Riyadh, cetakan pertama.
[2] Kami
terjemahkan dengan berdo’a karena pada awal ayat Allah memerintahkan untuk
berdo’a dan salah satu penafsiran ‘ulama dengan kata do’a di awal ayat ini
adalah do’a mas’alah yaitu, do’a seorang hamba kepada Robbnya agar
Allah mengabulkan hajatnya, baik berupa urusan dunia maupun akhiratnya dan
hadits yang terdapat dalam kitab Sunan dari sahabat Nu’man
bin Basyir radhiyallahu ‘anhu dimana Rasulullah Shollallahu
‘alaihi wa Sallam katakan, “Do’a adalah ibadah” [HR. HR. Ahmad no.
17629, Abu Dawud no. 1624, At Tirmidzi no. 2895, Ibnu Majah no. 3818, hadits
ini dinyatakan shahih oleh Al Albani] dan Fadhilatusy
Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halaby hafidzahullah mengatakan, “lafadz
hadits Nabi ini mengandung makna do’a merupakan ibadah dan ibadah merupakan
do’a” –atau sebagaimana yang Beliau hafidzahullah katakan dalam
muhadorohnya yang berjudul Ad Du’a wa Atsaruh-. Allahu A’lam.
[3] HR. Bukhori
no. 5981.
[4] Ibnul
Qoyyim rahimahullah mengatakan,
“Itsm
adalah perkara yang Allah haramkan secara jenisnya dan ‘udwan
adalah perkara yang Allah haramkan karena melebihi dari batas yang
dibolehkan, maka zina, minum khamr, mencuri dan yang semisal merupakan
bentuk itsm dan menikahi 5 orang wanita, menghukum orang yang menyakiti
lebih dari yang seharusnya dan yang semisal adalah bentuk ‘udwan”.
[lihat Ar
Risalatut Tabukiyah oleh Ibnul Qoyyim dengan tahqiq Syaikh Salim Al
Hilaly hal. 56 terbitan Dar Ibnu Hazm, Beirut, cetakan ke dua.]
[5] Al Imam An
Nawawi mengatakan yang dimaksud dengan اسْتَحْسِر adalah ketika ia berpaling
sesuatu dan tidak lagi melakukan sesuatu (dalam hal ini do’a, pent.)
lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawi dengan tahqiq
dari Syaikh Kholil Ma’mun Syihaa hal. 45/XVII terbitan Darul
Ma’rifah, Beirut, Lebanon , cetakan ke lima belas.
[6] HR. Muslim
no. 2735.
[7] HR. Ahmad
no. 12538, Hadits ini dinyatakan hasan oleh Fadhilatusy Syaikh ‘Ali bin
Hasan Al Halaby dalam takhrij Beliau untuk kitab Ad Daa’u wad Dawaa’u hal.
19.
[8] Ad Daa’u
wad Dawaa’u hal. 17 dengan tahqiq dari Fadhilatusy Syaikh ‘Ali bin Hasan Al
Halaby hafidzahullah terbitan Dar Ibnul Jauzy, Riyadh, cetakan
pertama.
[9] HR.
Tirmidzi no. 3370, Al Bukhori dalam Adabul Mufrod no. 657 dan lain-lain
dinyatakan hasan oleh Al Albani dalam takhrij Beliau untuk sunan
Tirmidzi.
[10] Lihat Syarh
Shohih Adabil Mufrod oleh Syaikh Husain bin ‘Audah Al Uwaisyah hafidzahullah
hal. 314/II, terbitan Maktabah Islamiyah, Kairo, cetakan kedua
[11] Sumber
idem.
[12] HR.
Thobroni dalam Ad Du’a no. 20, Al Uqailiy dalam Ad Du’afaa’u no. 452/IV, dan
Ibnu ‘Adi no. 2621. Al Hafidz Ibnu Hajar mengatakan, “Yusuf bin Sifr bin Al
‘Auza’I meriwayatkan hadits ini sendirian, padahal ia adalah perowi yang matruk
dan bisa jadi Baqiyah telah mentadlis hadits ini”. Takhrij hadits ini
kami ambilkan dari takhrij Fadhilatusy Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halaby
hafidzahullah dalam Ad Daa’u wad Dawaa’u hal. 18.
[13] Lihat Ad
Daa’u wad Dawaa’u hal. 18 dengan tahqiq dari Fadhilatusy Syaikh ‘Ali bin
Hasan Al Halaby hafidzahullah terbitan Dar Ibnul Jauzy, Riyadh,
cetakan pertama.
0 komentar:
Posting Komentar