Kalau Bisa Terus Menerus, Mengapa Harus Tergesa-gesa ??

| Rabu, 26 Juni 2013
Ada dua hal yang sering terlupakan oleh kaum muslimin pada umumnya dalam masalah berdo’a, yaitu tergesa-gesa dalam meminta pengabulan do’a dan tidak terus menerus dalam berdo’a. padahal hal ini merupakan dua hal dari sekian banyak hal yang harus diperhatikan oleh seorang abdullah (hamba Allah) ketika ia berdo’a. Untuk itulah kami sedikit kupas masalah ini sekadar kemampuan dan ilmu yang ada pada kami.
Pertama, tergesa-gesa dalam do’a, Imam Al Muhaqqiq Ibnu Qoyyim Al Jauziyahrohmatullah ‘alaihi rahmatan wasi’an- mengatakan dalam kitabnya Ad Daa’u wad Dawaa’u[1],

salah satu kesalahan yang menghalangi adanya atsar/bekas dari do’a adalah seorang hamba tergesa-gesa dalam berdo’a. Ia menganggap Allah lambat mengabulkan do’anya yang akhirnya ia meninggalkan berdo’a kepada Allah” –sekian perkatan Beliau-.

Maka penyakit tergesa-gesa dalam berdo’a ini akhirnya akan melahirkan penyakit yang parah bahkan teramat parah dari yang sebelumnya yaitu, meninggalkan berdo’a kepada Allah ‘Azza wa Jalla –wal iyyadzu billah-. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala murka kepada orang yang enggan berdo’a kepadaNya, yang mana hal ini tegas sebagaimana Allah firmankan dalam Al Qur’anul Adzim,

إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ 

“Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari  berdo’a[2] kepadaKu akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina”. (QS : Al Mu’min [40] : 60).
 
Setelah kita paham bagaimana buruknya sikap tergesa-gesa dalam do’a, lalu pertanyaan yang mungkin ada di benak kita adalah ‘Apa bentuk tergesa-gesa dalam berdo’a?’ Maka jawabnya sebagaimana hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam, 

يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ يَقُولُ دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي

Akan dikabulkan (do’a) masing-masing kalian selama ia tidak tergesa-gesa dalam do’anya, (dengan) dia mengatakan, ‘Aku telah berdo’a namun (Allah) tidak mengabulkannya untukku’”[3].

Demikian juga sabda Al Mushthofa Shollallahu ‘alaihi wa Sallam, 

لَا يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الِاسْتِعْجَالُ قَالَ يَقُولُ قَدْ دَعَوْتُ وَقَدْ دَعَوْتُ فَلَمْ أَرَ يَسْتَجِيبُ لِي فَيَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ

Senantiasa akan dikabulkan (permintaan/doa) seorang hamba selama dia tidak berdo’a dalam perkara dosa/itsm[4], perkara yang memutus silaturrahim, serta selama tidak tergesa-gesa dalam do’anya”. Salah seorang sahabat bertanya, ‘Apa yang dimaksud ketergesa-gesaan dalam do’a Ya Rasulullah?’ Beliau mengatakan, “dia mengatakan aku telah berdo’a, aku telah berdo’a namun aku tidak melihat Allah mengabulkannya untukku’ kemudian ia pun berpaling dan meninggalkannya[5][6].

Demikian juga dalam hadits yang terdapat dalam musnad Al Imam Ahmad rahimahullah melalui sahabat Anas Rodhiyallahu ‘anhu,

لَا يَزَالُ الْعَبْدُ بِخَيْرٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ يَسْتَعْجِلُ قَالَ يَقُولُ دَعَوْتُ رَبِّي فَلَمْ يَسْتَجِبْ لِي 
Senantiasa seorang hamba berada dalam kebaikan selama ia tidak tergesa-gesa (dalam do’anya pent.)”. Para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dengan tergesa-gesa (dalam do’a pent. ) wahai Rasulullah?” Beliau mengatakan, “Aku telah berdo’a kepada Robbku akan tetapi Dia tidak mengabulkan permintaanku[7].

Maka lihatlah wahai saudaraku betapa buruknya dua penyakit ini dan betapa buruknya akibatnya. Ia begitu sering terlihat di depan mata kita sedangkan akibatnya teramat sangat parah yaitu berpalingnya seorang hamba dari berdo’a kepada Robbnya padahal Dialah pemilik alam semesta beserta isinya dan hilangnya kebaikan dari dirinya.

Penyakit yang Kedua, tidak terus menerus dalam berdo’a, Al Imam Al Muhaqqiq Ibnu Qoyyim Al Jauziyahrohmatullah ‘alaihi rahmatan wasi’an- mengatakan dalam kitab yang sama[8], “Diantara obat yang penawar yang paling bermanfaat adalah terus menerus dalam berdoa”. Kemudian Beliau rahimahullah membawakan hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam, 
مَنْ لَمْ يَسْأَلْ اللَّهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ

“Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, (Allah akan) murka padanya”[9]. Sampai disini perkataan Beliau.

Yang dimaksud dengan (مَنْ لَمْ يَسْأَلْ اللَّهَ) dalam hadits ini adalah tidak mau berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala & tidak mau meminta fadhilah/keutamaan dariNya[10]. Sedangkan yang dimaksud dengan (يَغْضَبْ عَلَيْهِ) “(Allah akan) murka padanya” adalah sebagaimana kata Al Munawi rahimahullah dalam Faidhul Qodhir, hal ini (Allah Ta’ala murka kepadanya) dapat disebabkan karena ia berputus asa (dari do’a, pent.) atau boleh jadi karena ia sombong/enggan berdo’a kepada Allah Jalla Jalaluh dan setiap orang yang memiliki salah satu saja dari dua hal di atas maka Allah akan murka kepadanya”[11].

Maka dari hadits Rasulullah  Shollallahu ‘alaihi wa Sallam yang mulia ini kita dapat pahami bahwa salah satu bentuk kesalahan dalam bedo’a adalah tidak terus menerus dalam do’a kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Bahkan sebaliknya Allah ‘Azza wa Jalla mencintai orang yang senantiasa berdo’a kepadaNya. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah Rodhiyallahu ‘anha
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ المُلِحِّيْنَ فِيْ الدُّعَاءِ

“Sesungguhnya Allah mencintai orang terus menerus (senantiasa ) dalam berdo’a”.[12]
Sebagai penutup kami nukilkan perkataan salah seorang salaf yaitu Muwariq, Beliau mengatakan,
“Aku tidaklah pernah mendapatkan permisalan bagi seorang mu’min (dalam berdo’apent. ) kecuali sebagaimana seorang laki-laki yang berada di atas kayu di tengah laut yang ia berdo’a ‘Wahai Robbku, wahai Robbku’ ia berharap Allah ‘Azza wa Jalla menyelematkannya sampai ke daratan”[13].
Mudah-mudahan yang sedikit ini bermanfaat bagi kami dan pembaca sekalian, Allahu A’lam bish Showab 
.
Yang Selalu Mengaharapkan Ampunan Robbnya,


Abu Halim Aditya Budiman As Sijambaaliy


[1] Hal. 18 dengan tahqiq dari Fadhilatusy Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halaby hafidzahullah terbitan Dar Ibnul Jauzy, Riyadh, cetakan pertama.
[2] Kami terjemahkan dengan berdo’a karena pada awal ayat Allah memerintahkan untuk berdo’a dan salah satu penafsiran ‘ulama dengan kata do’a di awal ayat ini adalah do’a mas’alah yaitu, do’a seorang hamba kepada Robbnya agar Allah mengabulkan hajatnya, baik berupa urusan dunia maupun akhiratnya dan hadits yang terdapat dalam kitab Sunan dari sahabat Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu dimana Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam katakan, “Do’a adalah ibadah” [HR. HR. Ahmad no. 17629, Abu Dawud no. 1624, At Tirmidzi no. 2895, Ibnu Majah no. 3818, hadits ini dinyatakan shahih oleh Al Albani] dan Fadhilatusy Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halaby hafidzahullah mengatakan, “lafadz hadits Nabi ini mengandung makna do’a merupakan ibadah dan ibadah merupakan do’a” –atau sebagaimana yang Beliau hafidzahullah katakan dalam muhadorohnya yang berjudul Ad Du’a wa Atsaruh-. Allahu A’lam.
[3] HR. Bukhori no. 5981.
[4] Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan,
Itsm adalah perkara yang Allah haramkan secara jenisnya dan udwan adalah perkara yang Allah haramkan karena melebihi dari batas yang dibolehkan, maka zina, minum khamr, mencuri dan yang semisal merupakan bentuk itsm dan menikahi 5 orang wanita, menghukum orang yang menyakiti lebih dari yang seharusnya dan yang semisal adalah bentuk ‘udwan”.
[lihat Ar Risalatut Tabukiyah oleh Ibnul Qoyyim dengan tahqiq Syaikh Salim Al Hilaly hal. 56 terbitan Dar Ibnu Hazm, Beirut, cetakan ke dua.]
[5] Al Imam An Nawawi mengatakan yang dimaksud dengan اسْتَحْسِر adalah ketika ia berpaling sesuatu dan tidak lagi melakukan sesuatu (dalam hal ini do’a, pent.) lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawi dengan tahqiq dari Syaikh Kholil Ma’mun Syihaa hal. 45/XVII terbitan Darul Ma’rifah, Beirut, Lebanon , cetakan ke lima belas.
[6] HR. Muslim no. 2735.
[7] HR. Ahmad no. 12538, Hadits ini dinyatakan hasan oleh Fadhilatusy Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halaby dalam takhrij Beliau untuk kitab Ad Daa’u wad Dawaa’u hal. 19.
[8] Ad Daa’u wad Dawaa’u hal. 17 dengan tahqiq dari Fadhilatusy Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halaby hafidzahullah terbitan Dar Ibnul Jauzy, Riyadh, cetakan pertama.
[9] HR. Tirmidzi no. 3370, Al Bukhori dalam Adabul Mufrod no. 657 dan lain-lain dinyatakan hasan oleh Al Albani dalam takhrij Beliau untuk sunan Tirmidzi.
[10] Lihat Syarh Shohih Adabil Mufrod oleh Syaikh Husain bin ‘Audah Al Uwaisyah hafidzahullah hal. 314/II, terbitan Maktabah Islamiyah, Kairo, cetakan kedua
[11] Sumber idem.
[12] HR. Thobroni dalam Ad Du’a no. 20, Al Uqailiy dalam Ad Du’afaa’u no. 452/IV, dan Ibnu ‘Adi no. 2621. Al Hafidz Ibnu Hajar mengatakan, “Yusuf bin Sifr bin Al ‘Auza’I meriwayatkan hadits ini sendirian, padahal ia adalah perowi yang matruk dan bisa jadi Baqiyah telah mentadlis hadits ini”. Takhrij hadits ini kami ambilkan dari takhrij  Fadhilatusy Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halaby hafidzahullah dalam Ad Daa’u wad Dawaa’u hal. 18.
[13] Lihat Ad Daa’u wad Dawaa’u hal. 18 dengan tahqiq dari Fadhilatusy Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halaby hafidzahullah terbitan Dar Ibnul Jauzy, Riyadh, cetakan pertama.

0 komentar:

Posting Komentar

Next Prev
▲Top▲