Seorang kakek-kakek duduk di
sebuah sekret rohis kampus. Sekret itu berukuran 3×3 meter. Kecil, tapi
sangat nyaman. Lantainya dialasi karpet coklat. Ada lemari file, kaca
besar di sampingnya. Buku-buku Islam tersusun rapi di hadapan kakek itu
duduk. Jendela terbuka lebar. Terdengar kicauan dari burung yang ada di
dalam sangkar.
Kerut-kerut di wajahnya sangat kentara. Rambutnya sudah memutih. Ia
termenung. Kepalanya tertunduk. Ia tengah memandangi sebuah album foto.
Tak jauh darinya, ada setumpuk album foto lainnya. Lama sekali ia
memandangi album foto itu.
Seorang mahasiswa berbaju koko, masuk ke sekret dan sebelum duduk di
sebelahnya, ia mengucap salam, sambil mengulurkan tangannya, mencium
tangan kakek itu dan mencium pipi kiri dan kanan. “Wa’alaikumsalam Wr
Wb,” jawab sang kakek. Untuk beberapa saat mereka saling terdiam. Kakek
itu masih asyik menatapi foto-foto tersebut. Membuka-buka halamannya.
“Saya suka melihat foto-foto ini, dan saya tak kan pernah bosan
melihatnya,” ujar kakek itu memecah kesunyian. Matanya terlihat sayu dan
memendam kerinduan yang mendalam. Mahasiswa itu terlihat tak mengerti,
tapi kemudian ia berujar, “Ya, Pak saya pernah melihat foto-foto itu,
sepertinya orang-orang di dalam foto itu sangat kompak ya.” Mahasiswa
itu mendekat dan ikut melihat foto-foto itu. “Lihatlah ikhwan-ikhwan
ini, mereka semua sangat kompak,” kata kakek itu sambil menunjuk sebuah
foto dan tiba-tiba wajah kakek itu terlihat sumringah. “Tahukah kamu,…
untuk mewujudkan ikhwan-ikhwan yang kompak seperti ini, ada pengorbanan
dari para senior-senior kami dahulu dan juga dari teman-teman kami
sendiri,” kakek itu menjelaskan. Mahasiswa itu kemudian bertanya “Bapak
sendiri yang mana?” “Saya…, yang ini… Bersama teman-teman saya dulu…,”
ujar kakek itu sambil menunjuk ke sebuah foto ikhwan yang memakai ikat
kepala putih dan slayer biru saat mukhayyam di gunung.
Tiba-tiba pintu sekret terbuka dan ada enam orang ikhwan berbaju
koko, memasuki sekret sambil tertawa riang dan bercerita panjang lebar.
Begitu melihat kakek itu, mereka segera mengucap salam, dan bersalaman.
“Acaranya baru dimulai 10 menit lagi, Pak,” ujar seorang ikhwan berbaju biru.
“Eh, teman-teman, ini tadi beliau sedang cerita… Ternyata ada foto beliau ketika masih seusia kita, lho” ujar mahasiswa tadi.
“Acaranya baru dimulai 10 menit lagi, Pak,” ujar seorang ikhwan berbaju biru.
“Eh, teman-teman, ini tadi beliau sedang cerita… Ternyata ada foto beliau ketika masih seusia kita, lho” ujar mahasiswa tadi.
“Wah, yang bener yah…,” seru seorang dari mereka. Mereka berebutan untuk melihat album foto dan mengelilingi kakek itu. Terlihatlah foto-foto para aktivis kampus angkatan 1996. Ikhwan dan akhwatnya terlihat sangat kompak. Puluhan akhwat berjilbab rapi berdiri di belakang para ikhwan yang duduk berjongkok sambil memegang spanduk acara. Dan banyak lagi foto-foto yang serupa. Meski sudah 46 tahun yang lalu, namun foto-foto itu masih terjaga baik. Ya.., karena kakek itu menyimpannya…
Seorang mahasiswa memasuk sekret dan berkata, “Pak, acaranya sudah
dimulai.” Mereka semua lalu keluar bersama-sama menuju tempat acara.
Kakek itu berjalan menyusuri sepanjang koridor kampus menuju ruangan
seminar. Dengan berjalan lambat-lambat, didampingi para mahasiswa.
Sepanjang jalan ia disapa oleh setiap mahasiswa yang berpapasan
dengannya. Meski kampus swasta, tetapi terlihat lebih mirip pesantren
karena hampir semua mahasiswa dan mahasiswinya berjilbab dan
mahasiswanya berbaju koko. Kakek itu hadir sebagai pembicara di sebuah
seminar bertema, “Menyikapi Kemenangan Da’wah” yang disambut takbir
ribuan peserta ikhwan dan akhwat di kampus itu. Kampus yang telah futuh.
Acara dibuka dengan tilawah dan diawali dengan tampilnya tim nasyid.
Ketika tiba saatnya pada materi inti, sang moderator membacakan biodata
pembicara. Setelah dipersilahkan untuk menyampaikan materi, kakek itu
membukanya dengan basmallah. Ia sempat terdiam sesaat. Dipandanginya
aula besar yang berisi ribuan mahasiswa dan mahasiswi. Matanya
berkaca-kaca. Ia terkenang akan kenangan masa lalu. Pandangannya nanar.
(Ruangan itu berubah ke tahun 1996)
Di tempat yang sama. Ruangan itu lenggang.
Terdengar suara, “Nanti kita mengadakan seminarnya di ruang ini saja, karena sound systemnya di sini bagus,” ujar Bram kepada teman-temannya. Beberapa teman yang berada di dekatnya mengangguk tanda setuju.
“Tapi, apa tidak terlalu besar ya, Bram … karena pesertanya dikhawatirkan sedikit,” ujar seorang mahasiswi bernama Laras, yang rambutnya diikat ekor kuda.
“Saya pikir, tidak Laras.. Tema seminar kali ini cukup menarik, insya Allah anak-anak mahasiswa baru banyak yang datang, kok.”
Terdengar suara, “Nanti kita mengadakan seminarnya di ruang ini saja, karena sound systemnya di sini bagus,” ujar Bram kepada teman-temannya. Beberapa teman yang berada di dekatnya mengangguk tanda setuju.
“Tapi, apa tidak terlalu besar ya, Bram … karena pesertanya dikhawatirkan sedikit,” ujar seorang mahasiswi bernama Laras, yang rambutnya diikat ekor kuda.
“Saya pikir, tidak Laras.. Tema seminar kali ini cukup menarik, insya Allah anak-anak mahasiswa baru banyak yang datang, kok.”
Bram bersama tiga temannya berjalan bersama menuju sekret. Di
sepanjang jalan menuju kampus, para mahasiswa laki-laki dan perempuan
terlihat bercampur baur. Yang mahasiswinya merokok dan mahasiswanya
memakai anting. Bahkan ada yang tak malu-malu berpelukan di koridor
kampus.
Bram, mahasiswa semester tiga, fakultas ekonomi di sebuah universitas
swasta di Jakarta. Rambutnya lurus dibelah tengah, kulitnya sawo
matang, postur tubuhnya sedang, badannya tegap, dan jago bela diri Tae
Kwon Do. Ia suka memakai celana bahan dan kemeja lengan panjang.
Sehingga tampak sekali keikhwanannya. Suaranya yang lembut namun tegas,
membuatnya disegani, sehingga ia didaulat menjadi ketua rohis untuk masa
periode itu.
Krisis Regenerasi dan Optimisme Bram
Suatu hari, Bang Didit dan Bram membuat janji untuk bertemu di sekret pada pukul 10.00. Di tengah kesunyian sekret, Didit yang notabene adalah DP (Dewan Pembina) senior rohis angkatan ’94, berkata kepada Bram. “Dek, kondisi angkatan ‘96 seperti ini. Abang sedikit pesimis.” Bram tertunduk. Ia baru saja diangkat menjadi ketua dari organisasi rohis yang kualitas anggotanya, sangat jauh dari harapan, karena mereka masih belum memiliki sikap teguh pendirian dan masih sedikit jiwa berkorbannya untuk dakwah. Pun masih gemar ber-ikhktilat. Namun jauh di lubuk hatinya, Bram tetap optimis, bahwa bila Allah menghendaki, manusia pasti bisa berubah, pasti bisa….
“Di akhwat juga tidak ada, dek….” tambah Bang Didit, ingin menekankan
bahwa hanya Bram yang bisa menjadi motor penggerak dalam organisasi
rohis itu. Bram berfikir keras. Amanah berat di pundaknya. Iya…, memang
kondisi di kampus ini sangatlah berbeda dibanding SMU-nya yang ada di
daerah. Dulu di SMU, aktivis bertumpuk dan suasananya sudah sangat
islami. Tapi kini, tugas yang akan diembannya sangat berat, yang
sampai-sampai para DP pun, sudah di ambang pesimisme. Di lubuk hatinya,
Bram memegang teguh janji Allah, intanshurullah yan shurkum wa yutsabbit
aqdamakum. Ayat itu selalu menyemangati dirinya untuk tetap optimis
berada di jalan ini. Karena hidayah Allah, siapa yang tahu? Teman-teman
pasti bisa berubah….
Andre, Aktivis Da’wah Sekolah (ADS)
Saat tengah duduk-duduk di depan sekret rohis, Bram melihat seorang mahasiswa yang tampaknya seperti ikhwan, menuju tempat wudhu. Dan instingnya seakan memperkuat hal itu. “Assalaamu’alaikum,” kata Bram.
“Wa’alaikumsalam wr wb,” jawab pemuda berjanggut tipis dan tampan itu.
“Em…, antum Ikhwan, ya?” tembak Bram to the point.
“Saya…… JT,” jawabnya mantap.
“O…. Maaf ya, Assalaaamu’alaikum” ujar Bram malu-malu dan segera ngeloyor pergi kembali ke sekret. Saat Bram berbalik beberapa langkah, pemuda itu memanggilnya. “Eh.., akhi… tunggu, maksud saya … JT itu Jamaah Tarbiyah,” ujarnya sambil tersenyum ramah.
“Ooo…. Alhamdulillah….,” senyum Bram pun mengembang.
Mahasiswa itu bernama Andre, mahasiswa tingkat II yang ternyata ADS
juga di SMU-nya. Bram sangat senang mendengar itu. Bram mengajak Andre
untuk berkomitmen di jalan dakwah. Bram menjelaskan kondisi rohis kampus
yang memprihatinkan. Andre mahasiswa yang cerdas, perawakannya sedang,
rambutnya ikal dan kulitnya putih dengan pipi yang kemerah-merahan.
Andre mengangguk, “Maka marilah kita berjanji setia untuk berjuang di
jalan-Nya,” ujar Andre menyambut ajakan Bram. Bram tersenyum. Dan mereka
berjanji setia untuk senantiasa di jalan Allah. Sejak itu mereka
senantiasa selalu bersama dan ikatan cinta diantara mereka sangatlah
kuat.
Zaid, Sang Jurnalis
Usai shalat Zuhur, sebelum jamaah bubar, Bram segera maju ke depan, mengambil mic dan memberi kultum di masjid kampus. Ia memulainya dengan basmalah dan membacakan firman Allah SWT QS. Saba’: 46-50. Dengan semangat yang membara, kata-kata yang lugas dan tegas, lidah yang lancar, ia berkata, “Kepada para pemuda yang merindukan lahirnya kejayaan, kepada umat yang tengah kebingungan di persimpangan jalan. Kepada para pewaris peradaban yang kaya raya, yang telah menggoreskan catatan membanggakan di lembar sejarah umat manusia. Kepada setiap muslim yang yakin akan masa depan dirinya sebagai pemimpin dunia dan peraih kebahagiaan di kampung akhirat… “ Para jamaah yang semula hendak bubar, demi mendengar seruan Bram yang menggetarkan jiwa itu, spontan segera menoleh ke arah Bram dan mereka kembali duduk di tempatnya dikarenakan gaya bicara Bram yang sangat menarik.
Bram melanjutkan, “Wahai pemuda! Kalian tidak lebih lemah dari
generasi sebelum kalian, yang dengan perantaraan mereka Allah
membuktikan kebenaran manhaj ini. Oleh karenanya, janganlah merasa resah
dan jangan merasa lemah. Kita akan menempa diri, sehingga setiap kita
menjadi seorang muslim sejati. Kita akan membina rumah tangga-rumah
tangga kaum muslimin menuju terbangunnya rumah tangga yang islami.
Setelah itu, kita akan menempa bangsa kita menjadi bangsa yang muslim,
yang tertegak di dalamnya kehidupan masyarakat yang islami. Kita akan
meniti langkah-langkah yang sudah pasti, dari awal hingga akhir
perjalanan. Kita akan mencapai sasaran yang digariskan Allah bagi kita,
bukan yang kita paksakan untuk diri kita. Allah tidak menghendaki
kecuali menyempurnakan cahaya-Nya, meski orang-orang kafir tidak
menyukainya,” seru Bram. “ Kita pun akan mengetahui bahwa sesungguhnya
memisahkan agama dari politik itu bukan dari ajaran Islam. Pemisahan itu
tidak pernah dikenal oleh kaum muslimin yang jujur dalam beragama dan
paham akan ruh ajarannya. Sesungguhnya agama ini adalah agama, ibadah,
dan tanah air, …..”
Andre memperhatikan para jamaah. Dan ada beberapa jamaah yang
terlihat sangat antusias dengan seruan Bram. Andre mendekati seorang
pemuda. Setelah mengucapkan salam, mereka berkenalan. “Saya Andre.”
Pemuda itu membalas senyum Andre dan berkata,
“Saya Zaid.”
“Zaid, nama yang bagus sekali seperti sahabat yang menjadi sekretaris nabi.
“Iya, engkau benar,” jawab Zaid.
“Bagaimana menurutmu tentang orang di depan itu?” tanya Andre.
“Em.., bagus sekali dan saya tertarik untuk menuliskannya di koran saya,” jawab Zaid.
Andre mengerutkan keningnya.
“Anda jurnalis?”
“Ya, saya jurnalis di koran kampus.”
Sesaat Andre baru sadar, bahwa Zaid mengenggam pena dan membawa sebuah note book kecil di tangannya. Setelah mengobrol panjang lebar, Bram berkata,
“Emm…Kalau begitu bagaimana kalau engkau mengaji bersama-samaku.”
“Mengaji?”
“Ya, kita akan mengaji dan mengkaji lebih dalam lagi apa yang dikatakan mahasiswa itu.”
“Ya… Tentu.., “ jawab Zaid setelah berpikir beberapa saat.
“Saya Zaid.”
“Zaid, nama yang bagus sekali seperti sahabat yang menjadi sekretaris nabi.
“Iya, engkau benar,” jawab Zaid.
“Bagaimana menurutmu tentang orang di depan itu?” tanya Andre.
“Em.., bagus sekali dan saya tertarik untuk menuliskannya di koran saya,” jawab Zaid.
Andre mengerutkan keningnya.
“Anda jurnalis?”
“Ya, saya jurnalis di koran kampus.”
Sesaat Andre baru sadar, bahwa Zaid mengenggam pena dan membawa sebuah note book kecil di tangannya. Setelah mengobrol panjang lebar, Bram berkata,
“Emm…Kalau begitu bagaimana kalau engkau mengaji bersama-samaku.”
“Mengaji?”
“Ya, kita akan mengaji dan mengkaji lebih dalam lagi apa yang dikatakan mahasiswa itu.”
“Ya… Tentu.., “ jawab Zaid setelah berpikir beberapa saat.
Mahasiswa Baru
Ospek untuk menyambut mahasiswa baru angkatan ’97 digelar di kampus tersebut. Pakaian mereka putih dan hitam. Dengan rambut diikat pita tiga, ratusan mahasiswa baru telah berkumpul di lapangan. Suasana sangat ramai. Para aktivis dari BEM dan Himpunan berjaket almamater telah bersiap-siap. Dan para aktivis rohis tengah mempersiapkan tempat shalat untuk shalat Zuhur.
Di bawah panas terik matahari, ratusan Mahasiswa Baru duduk di
lapangan dan mendengarkan instruksi dari para senior, tak jarang
kata-kata kotor keluar dari mulut mereka. Bram jengah mendengarnya.
Sudah mahasiswa tapi intelektualitsnya justru minus, pikirnya.
Semua mahasiswa baru, dikumpulkan di lapangan kampus. “Siapa yang
tidak bawa atribut lengkap, cepat maju ke depan dalam hitungan tiga!
Kalau tidak, terima sendiri akibatnya!” seru sang senior berjaket
almamater biru. Ia mulai menghitung. Beberapa junior maju ke depan. Bram
berjaket almamater dan memandangi para mahasiswa baru untuk
berjaga-jaga dari hal-hal yang tidak diinginkan. Tiba-tiba matanya
tertuju pada seorang mahasiswi baru, berjilbab putih. Ia seperti
mengingat-ingat sesuatu…. Itu.. seperti.. seperti…. Sita! Sita sudah
berjilbab…? Bram terdiam dan pikirannya melayang dengan kejadian setahun
lalu.
Saat itu.. ketika ia masih kelas 3 SMU….
“Saya tidak bisa meneruskan hubungan kita, dek… Kita akhiri sampai di
sini saja…..,” ujar Bram pada seorang adik kelas yang tak lain adalah
kekasihnya, “Tapi.., kenapa? Bukankah selama ini hubungan kita baik-baik
saja, Bang…” jawab Sita dengan memandang lekat-lekat wajah laki-laki
yang sangat dicintainya itu. Air mata Sita sudah tak terbendung lagi.
“Maafkan saya, dek… tetapi saya bukanlah Bram yang dulu lagi. Saya sudah
memikirkan ini masak-masak, saya ingin berubah…”
Sita dan Bram duduk berdua di pinggir lapangan basket SMU. Mereka
saling terdiam beberapa saat dan memandangi pintu gerbang SMU mereka
yang sudah mulai sepi. Langit berwarna merah. Rambut lurus Bram tertiup
angin yang sepoi-sepoi. Azan maghrib sebentar lagi berkumandang. “Apa
yang membuat abang berubah? Padahal dua hari lalu, abang katakan bahwa
kita akan selalu bersama, apakah engkau sudah melupakan kata-kata abang
sendiri…,” Suara Sita terdengar parau.
Sesungguhnya jauh di lubuk hati Bram, sangatlah berat melepas Sita.
Tapi.. ., ada yang jauh lebih ia cintai dari wanita yang berambut sebahu
itu… Mengatakan perpisahan inipun sangat sulit baginya. Tapi.. tapi..
ia harus bisa karena ada yang lebih ia harapkan dari Sita, yaitu…
ampunan dan rahmat Allah. Ia tak dapat memungkiri bahwa hatinya gelisah
luar biasa bila berdekatan dengan Sita, seakan dosa yang terus
menggunung tinggi.
Azan Maghrib berkumandang. Bram tersigap, ia bangkit dari duduknya
dan berkata, “Sudah azan, saya mau shalat. Shalat yuk.., dek…,” ajak
Bram. Sita memandang Bram dengan tatapan penuh keheranan…dan
bertanya-tanya dalam hati.. sejak kapan Bram shalat? Bukankah ia sendiri
yang sering mengatakan tak suka dengan anak-anak rohis…… “Abang saja
yang shalat, Sita nanti aja,” jawab Sita enggan. Bram dan Sita saling
berpandangan, lama sekali. Seakan banyak isi hati yang terucapkan lewat
tatapan mata mereka. Hati Bram bergemuruh. Qomat berkumandang dari
masjid sekolah. Bram menundukkan pandangannya, dan berkata, “Saya
shalat…” Ia membawa tas ranselnya dan menuju masjid sekolahnya. Sita
tertunduk dan air mata mengalir di pipinya yang kemerah-merahan.
Usai shalat Maghrib, Bram termenung sesaat… Hatinya sedih luar biasa,
ia tahu, pasti Sita saat ini sedang menangis. Apakah ia harus menemui
Sita lagi dan menenangkannya, seperti yang selama ini ia lakukan. ‘”Aku
di sini untukmu.” Kata –kata itulah yang sering ia ucapkan bila Sita
bersedih. Tetapi kini.. apakah ia harus menemuinya dan mengatakannya
lagi.. Ah.., tidak.. Aku sudah bertekad, aku harus berubah! Harus!. Ya
Allah.., istiqomahkanlah aku di jalan-Mu. Bram memanjatkan doa dengan
hati bersungguh-sungguh. Tak terasa ia menitikan air mata. Ikatan yang
sudah terjalin sejak mereka SMP, harus pupus di tengah jalan. Biarlah…
biarlah .. kita menangis saat ini Sita, daripada kita menangis di
akhirat nanti. Bram lebih memilih jalan untuk menjauhi apa yang namanya
pacaran. Dan ia berkomitmen untuk selalu berada di jalan para nabi ini….
Bram menyenandungkan syair nasyid Izzatul Islam
Selamat tinggal wahai dunia duka dan
selamat datang wahai dunia iman
Burung yang patah sayapnya tak akan mati karena lukanya
Wahai hatiku yang sedih perangainya
Sungguh kesedihan itu teah meninggalkan diriku
Kan terbang aku ke dunia cinta
Karena Aku muslim yang membumbung dengan iman
Gelarku adalah muslim dan itu cukup bagiku
Dibawah naungan agama aku hidup
Untuk menebus keislamanku yang nyaris sirna
Selamat tinggal wahai dunia duka dan
selamat datang wahai dunia iman
Burung yang patah sayapnya tak akan mati karena lukanya
Wahai hatiku yang sedih perangainya
Sungguh kesedihan itu teah meninggalkan diriku
Kan terbang aku ke dunia cinta
Karena Aku muslim yang membumbung dengan iman
Gelarku adalah muslim dan itu cukup bagiku
Dibawah naungan agama aku hidup
Untuk menebus keislamanku yang nyaris sirna
**
“Assalaamu’alaikum, Bram… Nanti tempat wudhunya gimana?” tanya teman
rohisnya, Andre. Kehadiran Andre membuyarkan lamunan Bram, “Oh.. eh..
Wa’alaikumsalam, itu sudah disiapkan, jadi nanti yang mahasiswanya wudhu
di dekat gedung K,” jawab Bram mantap. Andre mengangguk dan
meninggalkan Bram usai mendapat jawaban itu. Bram beristighfar dan
segera kembali mempersiapkan atribut shalat, seperti spanduknya dan
lain-lain. Bram bergumam, intanshurullah yan shurkum wa yutsabbit aqdamakum
Bram duduk di masjid usai shalat Zuhur. Ia dan teman-temannya
bersiap-siap menyambut mahasiswa baru. Ia memandangi orang-orang yang
shalat. Dan dari kejauhan ia melihat seorang mahasiswa baru yang tengah
duduk. Bram menghampirinya dan mengucapkan salam. Mahasiswa baru
berambut plontos itu menjawab salam sambil tersenyum ramah. “Sudah
shalat?” tanya Bram padanya. “Sudah, Bang… lagi nunggu temen, dia belum
selesai,” jawabnya sedikit malu-malu. Bram lalu berkenalan lebih jauh
dengan mahasiswa yang ternyata benama Andi itu. Bram berkata, “Nanti
kapan-kapan kamu main ke sekret rohis aja.” “Ke sekret? Ngapain Bang,”
tanya Andi heran. “Ya maen aja, belum penah ke sekret rohis, kan?” Bram
kembali mengajak. Dan kali ini Andi mengiyakan dan berjanji akan
mengunjungi sekret rohis. Andi berpamitan setelah temannya usai shalat.
Mereka berlari menuju kelas.
Bram Bersama Teman-Teman
Selama kepengurusannya, Bram melakukan gebrakan-gebrakan da’wah. Dan ia memprioritaskan da’wah di atas segalanya. Totalitas Perjuangan. Ia persembahkan untuk meninggikan kalimatullah. Bram, Andre dan Zaid bekerjasama untuk berda’wah kepada para mahasiswa baru, pun kepada teman-teman mereka sendiri.
Bram mencarikan ustadz agar mereka dapat mengkaji Islam bersama. Ini
akan menjadi menthoring pertama dalam organisasi ini. Sejak itu, mereka
bertiga mengadakan pertemuan mingguan bersama seorang ustadz.
Saat kuliah, Bram, Andre dan Zaid ada di kelas yang bersebelahan.
Mereka dapat dengan mudah berkoordinasi bila ada teman-teman Da’wah
Fardiyah. Semuanya mereka rencanakan dengan baik. Hingga akhirnya
terekrutlah beberapa orang mahasiswa dan mahasiswi, untuk semakin
mengokohkan barisan da’wah.
Perpustakaan Masjid
Bram memasuki masjid dan melihat banyak sekali buku-buku Islam yang tak terawat. “Buku-buku adalah sumber ilmu,” ujar Bram ketika mengajak Andre untuk mendata buku-buku tersebut. Jumlah buku Islam itu ada 500 buku. Mereka berdua mencatat nama buku, pengarangnya, dan penerbitnya. Lalu membuat nomor-nomor buku, kemudian menempelkannya di setiap buku. Selama sebulan lebih Bram dan Andre melakukan itu. Bram bersyukur karena ada Andre yang bersedia membantunya. “Kapan nih selesai bukunya, kok ngga’ selesai-selesai,” ujar seorang anggota rohis saat memasuki sekret. Ia hanya membaca beberapa buku, dan kemudian meletakkannya. “Makanya, bantuin dong, biar cepet selesai,” ujar Andre sedikit kesal. Karena Andre tahu, Bram yang paling banyak berperan dalam mengurusi buku-buku itu, dan ia tidak rela bila orang hanya bicara saja tanpa membantu. Bram hanya terdiam mendengar itu. Berapa banyak orang yang sanggup bicara, tetapi sedikit yang mengerjakannya. Dan berapa banyak orang yang mau mengerjakannya, tetapi mau serius dan berkorban untuk melakukannya.
Setelah satu bulan, pendataan buku-buku itu pun selesai. Bram dan
Andre meletakkannya di perpustakaan masjid. Mereka segera membuat kartu
perpustakaan, sehingga para mahasiswa dapat meminjamnya. Dan dapat
beredarlah fikrah kita.
Pengorbanan
Bram, Andre dan Zaid terkejut sesaat, tetapi kemudian memberikan selamat kepada Laras, karena ia baru saja berjilbab. Laras tersipu-sipu, dan dari lubuk hatinya, Laras yakin bahwa inilah jalan yang lurus, jalan yang benar, jalan yang Dia ridhoi. Dengan jilbab ini, Laras berjanji untuk senantiasa di jalan ini…
Sekret rohis itu dikunjungi oleh mahasiswa dan mahasiswi. Di sekret
akhwat, sangatlah ramai oleh canda tawa para mahasiswi, sampai-sampai
suara mereka terdengar di sekret ikhwan. Andre kerap kali mengetuk
jendela akhwat, agar tidak terlalu berisik. Bila sudah demikian, para
akhwat dan mahasiswi yang ada di dalam hanya tersenyum tertahan. Andre
hanya geleng-geleng kepala.
Dan di sekret ikhwan pun tak jauh berbeda. Bahkan mereka bermain bola
di dalam sekret. Andre hanya geleng-geleng kepala (lagi). Tetapi Bram
memang tidak mencegah hal itu dan membiarkannya karena anggota yang baru
bergabung tidak bisa dipaksa langsung berubah total.
Di dalam sekret itu, diadakan jadwal kultum harian. Setiap orang
mendapat giliran. Laras membuat jadwal di akhwat, dan Andre membuat
jadwal di ikhwan. Tilawah dan kajian, juga menjad agenda mingguan.
Kala maghrib menjelang, ketika tak ada seorangpun di lingkungan
sekret. Bram masuk ke sekretnya. Dan ia membereskan sekret yang
berantakan. Hampir setiap hari ia melakukan itu, karena pengkondisian
sekret bagi Bram sangat penting. Kebersihan adalah sebagian dari iman.
Bagaimana mungkin hidayah Allah akan turun bila tempat ini berantakan…,
gumam Bram. Untuk saat ini, ia belum bisa meminta teman-temannya untuk
melakukan tugas ini, karena banyak yang menolak. Dan Bram memaklumi hal
ini. Ia menyapu lantai, merapihkan buku-buku, membuang sampah-sampah,
dan memasang mading ataupun menempel tausiah-tausiah di sekret.
Menghadapi Kristenisasi
Sita bergabung dengan rohis kampus. Namun Sita yang sekarang, bukanlah Sita yang dulu, karena kini ia telah berjilbab rapi dan ia sudah membuang jauh-jauh kenangannya bersama Bram. ‘Ya Allah, aku ada di sini karena Engkau. Semoga Engkau luruskan niat-niat kami di jalan-Mu,” doa Sita di setiap shalat malamnya.
“Aduh, gimana yah, temen gue ada yang mau keluar dari Islam,” kata
Anita, teman sekelas Sita, suatu hari. “Hah? yang bener?” seru Sita.
Sewaktu di SMU ia juga pernah menemui kristenisasi di SMU-nya. “Iya,
tapi Sita jangan bilang siapa-siapa ya, rahasia,” ujar Anita yang celana
jinsnya robek-robek di bagian lututnya. Anita berkata itu dengan mimik
serius dan rokok mengepul dari mulutnya. Sita hanya mengangguk-angguk.
Pakai jilbab, mau murtad? Tubuh Sita seakan limbung mendengar itu.
Haruskah ia kehilangan lagi saudara muslim lagi. Sewaktu di SMU ia
pernah menghadapi hal yang sama, pemurtadan dan saat itu teman SMU-nya
murtad karena diiming-imingi harta. Sita segera membuka-buka kembali
buku kristologinya. Ia membenahi jilbab putihnya. Argumen-argumen apa
yang harus ia sampaikan kepada seseorang yang mau murtad. Ia mencatat
semuanya dalam selembar kertas dan esok paginya, ia sudah siap dengan
argumennya.
Namun Sita tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia menceritakan
hal itu kepada orang yang ia percaya, yang notabene pasti tak mengenal
Anita. Hal ini terdengar di telinga Bram, ketua rohis, bahwa ada
kristenisasi di kampus.
Saat rapat rohis, Bram berkata, “Kita mendapat laporan dari atas,
bahwa di kampus kita terjadi kristenisasi.” Sita tertunduk dalam
mendengarnya. “Sebaiknya hal seperti ini tidak disembunyikan, karena
bila sampai terjadi pemurtadan, dapat mencoreng wajah da’wah kita di
kampus ini,” tambah Bram dengan tegas. Bram masih menunggu ikhwah yang
sebenarnya mengetahui hal ini. Sitapun akhirnya angkat bicara, “Ya,
sebaiknya kita mencari kristolog untuk membantu akhwat ini, karena
kabarnya, dia mendapat ancaman juga dari kekasihnya yang Kristen, akh…”
Hm.., Bram akhirnya tahu siapa orangnya.
“Ya, sebaiknya begitu…,” jawab Bram.
“Ya, sebaiknya begitu…,” jawab Bram.
Para ikhwah mempersiapkan agenda bersama agar mahasiswi tersebut
tidak murtad. Lima akhwat, diantaranya Sita dan Laras, melakukan aksi
detektif. Mereka ingin mengetahui dahulu wajah sang mahasiswi yang
berkudung gaul tersebut. Kejar-kejaran dari belakang. Bersembunyi kala
ia menoleh. Sesekali para akhwat tersenyum bersama. Setelah mahasiswi
itu berhasil diidentifikasikan, akhirnya Sita menjadi duta untuk
melakukan dialog dengannya.
Bram terus memantau perkembangannya dari hari ke hari. Dan dari
Anita, Sita mengetahui bahwa mahasiswi tersebut membatalkan niatnya
untuk berpindah agama akibat bujukan pemuda Kristen tersebut, karena
agama adalah yang paling utama. Allahu Akbar! Misi detektif akhwat
selesai.
Riska, Namanya
Pagi hari. Di ruang kelas. Para mahasiswa tengah menunggu datangnya dosen Pengantar Akuntansi 2. Bram segera masuk ruang kelas. Dan duduk di baris kedua. Ia membuka buku Akuntansinya dan melihat-lihat lembaran buku merah tersebut. Ia tak memperhatikan bahwa sedari tadi ada mahasiswi yang mengamati dirinya. Bram menoleh ke arah kanannya dan melihat mahasiswi manis, bercelana jins, baju jungkis dan berambut keriting tengah menatapnya. Bram segera melemparkan senyumnya. Mahasiswi itu membalas senyumnya. “Kamu anak rohis ya?” tanya mahasiswi itu. “Iya, saya Bram,” jawab Bram memperkenalkan diri. “Riska, “katanya balas memperkenalkan diri. “Saya dari dulu pengen ikut rohis nih, tapi bisa ngga’ ya?” ujar Riska. “O… tentu aja bisa. Kamu maen aja ke sekret rohis,” jawab Bram. Tiba-tiba dosen masuk dan menghentikan obrolan Bram dan Riska. Kuliah berlangsung selama 2 jam.
Usai kuliah, Bram mengajak Riska untuk berkunjung ke sekret rohis.
Bram memperkenalkan Riska kepada beberapa akhwat rohis. Di dalam sekret,
Riska melihat-lihat sekeliling sekret yang isinya begitu banyak
buku-buku Islam.
“Sejak kapan kamu pakai jilbab?” tanya Riska pada Sita.
“Emm…, kelas 3 SMU, Mbak.”
“Wah, baru pakai ya?”
“Iya”
“Dulu dapat halangan ngga’ dari orangtua?” tanya Riska lagi.
“Iya, dulu mintanya susah sekali. Tapi dengan berusaha, akhirnya orang tua mengizinkan,” jawab Sita.
Riska mengangguk-anggukkan kepala. Mereka kemudian membicarakan banyak hal, mulai dari keluarga sampai seputar wanita. Riska mengakui bahwa wawasan Islam Sita sangat baik.
Pers Kampus
Zaid, semenjak bergabung dengan rohis, ia menggunakan kemampuan menulisnya untuk meninggikan kalimatullah. Tulisannya menghiasi media cetak kampus. Ia mampu menciptakan tulisan-tulisan yang universal, yang dapat diterima oleh kalangan dosen maupun mahasiswa. Sehingga Al Haq dapat tersampaikan. Dan ia kerap kali meliput kegiatan-kegiatan rohis dan memasukkannya ke koran kampus. Dengan ini, perlahan tapi pasti, terciptalah opini publik yang Islami lingkungan kampus tersebut.
Tidak hanya itu, kemampuannya itu ia teruskan kepada teman-teman dan
junior-juniornya. Misinya dalam jangka panjang adalah membentuk pers
kampus. Bram pun turut men-support keberadaan pers Islam ini. Hingga
terbentuklah satu divisi baru, yaitu Divisi Jurnalis. Yang bertugas
mem-blow up kegiatan-kegiatan rohis dan menggalang opini publik.
Bram Membangkitkan Semangat Teman-Teman
Sekret ikhwan dan akhwat terpisah. Letaknya ada di belakang masjid kampus itu. Para aktivis ini tengah mempersiapkan acara sebagai follow up dari penyambutan mahasiswa baru. Mereka melakukan rapat. Hanya ada 8 orang, yaitu Zaid, Bram, Andre, Andi, Riska, Laras, Sita dan Riska. Tak jarang mereka harus pulang malam untuk melakukan rapat-rapat. Bahkan kuliah bagi mereka adalah nomor dua. Yang utama adalah da’wah. Namun meskipun demikian, mereka semua tetap berprestasi dalam kuliahnya, dengan IPK minimal 3. Karena mereka memiliki motto, “Ikhwah sejati harus ber-IPK minimal 3!”
Sekret ikhwan dan akhwat terpisah. Letaknya ada di belakang masjid kampus itu. Para aktivis ini tengah mempersiapkan acara sebagai follow up dari penyambutan mahasiswa baru. Mereka melakukan rapat. Hanya ada 8 orang, yaitu Zaid, Bram, Andre, Andi, Riska, Laras, Sita dan Riska. Tak jarang mereka harus pulang malam untuk melakukan rapat-rapat. Bahkan kuliah bagi mereka adalah nomor dua. Yang utama adalah da’wah. Namun meskipun demikian, mereka semua tetap berprestasi dalam kuliahnya, dengan IPK minimal 3. Karena mereka memiliki motto, “Ikhwah sejati harus ber-IPK minimal 3!”
Bram selalu menjadi motor setiap event-event keislaman di kampus. Ia
senantiasa memotivasi teman-temannya untuk tetap istiqomah di jalan ini.
Dan di dalam sebuah organisisi, bukannya tanpa masalah, tetapi Bram dan
teman-temannya berusaha memiimalisirnya, karena ukhuwah yang utama.
**
Roy Bergabung dengan Rohis
Di kosnya, Bram memandang langit malam yang dihiasi bintang-bintang. Langit terang oleh cahaya bulan purnama… Lama sekali ia menatap langit… Terbayang di matanya… akhlak para mahasiswa di kampusnya yang merosot. Semua itu berkelebat dahsyat di pikirannya.
Roy Bergabung dengan Rohis
Di kosnya, Bram memandang langit malam yang dihiasi bintang-bintang. Langit terang oleh cahaya bulan purnama… Lama sekali ia menatap langit… Terbayang di matanya… akhlak para mahasiswa di kampusnya yang merosot. Semua itu berkelebat dahsyat di pikirannya.
Saat itulah, teman satu kosnya yang sedang menonton TV, menekan
channel berita Metro TV, “Korban kembali jatuh di Palestina, bom bunuh
diri dilakukan oleh Wafa Idris, wanita Palestina yang membawa bom. Tiga
orang tentara Israel tewas dan puluhan lainnya luka-luka.” Bram segera
berlari menuju TV mendengar berita itu. ketika melihat TV…, Innalillah…
sampai seorang wanita yang harus maju untuk berperang, kata Bram. Mata
Bram berkaca-kaca menyaksikan suasana di Palestina. Terlihat, Ambulance
menolong korban luka-luka orang-orag Israel. “Eh…, kenapa loe..?” tanya
Roy, teman satu kosnya. “Roy …, Kamu tahu…., Palestina itu tempat apa?”
tanya Bram pada Roy yang tengah menghisap sepuntung rokok. “Palestina
kan di Arab sana,” jawabnya cuek. Bram menggeleng, “Di Palestina ada
Masjid Al Aqsha, itu adalah kiblat pertama kita dan sekarang
diinjak-injak oleh zionis Israel, sudah sejak tahun 1948, sejak
perjanjian Balfour,” ujar Bram dengan serius. Roy mengangguk-angguk,
terbengong-bengong…”Ooh… begitchu yah..”
Bram terbangun dari tidurnya. Ia termenung sejenak. Dilihatnya, pukul
02.00 dini hari. Ia mengambil air wudhu dan shalat malam. Dalam shalat
malamnya, ia membaca surat Al Anfal, lama sekali… Roy yang kamarnya ada
di sebelah Bram, tengah sibuk membuat program web site. Di depan
internetnya ia meng-up load postnuke dari situs. Jari-jarinya bergerak
cepat. Sesekali ia membuka situs porno, dan terkekeh sendiri. Rokok di
tangan kirinya dan ada Majalah porno pula di tangan kanannya. Roy keluar
dari kamarnya saat mendengar suara orang menangis terisak-isak. Roy
keluar dari kamarnya dengan kaos oblong dan rambut yang berdiri dan
acak-acakan.
Ia melihat ke dalam kamar yang pintunya terbuka sedikit. Bram sedang
shalat. Kepala Roy tertunduk… Dan ia masuk kembali ke kamarnya. Di dalam
kamarnya, ia memandangi majalah pornonya, dan dilemparnya majalah itu
ke lantai. Ditutupnya semua situs yang ia browse sedari tadi. Ia
mengambil sebuah buku yang sudah berdebu, Al Qur’an. Roy teringat
kata-kata Bram…”Di Palestina ad Masjid Al Aqsha, itu tempat qiblat
pertama kita…” terngiang-ngiang kata-kata itu. Dan terbayang pula senyum
manis Andre saat ia sering mengajaknya untuk shalat ke masjid dan
biasanya Roy menolaknya mentah-mentah, tetapi Bram senantiasa bersabar
mengajaknya. Dibersihkannya Al Qur’an itu dari debu dengan tangannya.
Dibukanya pada surat mana saja… Dan yang terbuka olehnya adalah Surat Ar
Rahman “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” Roy
membacanya.. indah sekali ayat ini….
Bram bangun di pagi hari. Dan bersiap-siap untuk shalat Subuh di
masjid. Bram terkejut ketika Roy mengikutinya dari belakang… Dengan
malu-malu, Roy berkata, ‘‘Kenapa? Gue mau ke masjid juga, tidak boleh?”
“Eh.. boleh.. tentu saja boleh…,: Bram cepat-cepat membuang keterkejutannya itu dan mereka melangkah bersama menuju masjid di dekat kosan mereka.
“Eh.. boleh.. tentu saja boleh…,: Bram cepat-cepat membuang keterkejutannya itu dan mereka melangkah bersama menuju masjid di dekat kosan mereka.
Usai shalat, Bram membuka buku kecil berwarna hijau. “Itu apa? Gue
liat loe sering bawa buku itu,” tanya Roy. ‘‘Ini… Ini namanya Al
Ma’tsurat, zikirnya Rasulullah SAW yang dibaca setiap pagi dan petang,”
jelas Bram.
“Gitu yah? Boleh ngga’ gue baca,” tanya Roy lagi.
“Boleh, kita baca bareng-bareng aja ya. Nih…” ujar Bram menyerahkan buku itu.
“Loh, terus loe baca pake apa?”
“Insya Allah saya sudah hafal…,” kata Bram.
“Oooo….” Roy mengangguk-angguk. Mereka membacanya bersama-sama hingga matahari menampakkan cahayanya.
“Gitu yah? Boleh ngga’ gue baca,” tanya Roy lagi.
“Boleh, kita baca bareng-bareng aja ya. Nih…” ujar Bram menyerahkan buku itu.
“Loh, terus loe baca pake apa?”
“Insya Allah saya sudah hafal…,” kata Bram.
“Oooo….” Roy mengangguk-angguk. Mereka membacanya bersama-sama hingga matahari menampakkan cahayanya.
Di dalam kamarnya, Roy memandangi ruangannya yang berantakan seperti
kapal pecah. Ia terdiam sesaat dan dengan segera membersihkan dan
membereskan kamarnya. Sapu, lap pel, ada di tangannya. Ia mencopot semua
poster-poster band kesayangannya. Buku-buku porno ia kumpulkan.
Seketika, kamarnya bersih dan mengkilat hingga ke kaca-kaca jendela. Ia
keluar dari kamar dan diluar ia menyalakan api… dilemparnya semua buku
porno itu ke dalam api. Roy tersenyum penuh kemenangan.
Roy menyisir rapi rambutnya yang lurus dan dibelah tengah. Ia melepas
anting yang setia ad di telinga kananya. Ia merapikan janggutnya dan
memakai wangi-wangian. Penampilannya menjadi lebih rapi.
SEMINAR AKBAR, KEMENANGAN
Andre yang notabene adalah Ketua Departemen Syi’ar, menjadi Ketua pula dalam acara seminar yang akan digelar. Ia membentuk struktur panitia. Acara ini tergolong besar, karena akan melibatkan dosen dan mahasiswa. Target pencapaian adalah 500 peserta. Itu berarti peserta akan memenuhi ruang auditorium di kampus tersebut.
Zaid, yang ahli dalam membuat tulisan, membuat sebuah artikel yang
sangat bagus akan pentingnya seminar ini. Ia memasukkannya dalam koran
kampus yang memang independen, sehingga ia tak mendapatkan halangan yang
berarti.
Roy pun memanfaatkan keahliannya dalam dunia maya dengan menjaring
massa melalui dunia cyber. Ia menggunakan email, mailis, situs, Yahoo
Messenger dan Friendster untuk menyebarkan berita ini. Dan
tulisan-tulisan Zaid ia muat dalam setiap pesannya dalam internet.
Bram, yang memiliki karisma dalam dirinya, mengajak para dosen untuk
berpartisipasi dalam acara seminar ini. Ia menggunakan cara-cara yang
ahsan dan menawan hati.
Sita, Laras dan Riska menjalankan amanahnya mengajak para muslimah
untuk hadir dalam seminar. Mereka kerap mempublikasikannya dalam kajian
keputrian yang setiap minggunya dihadiri oleh tak kurang dari 50
muslimah, di setiap Jum’at.
Dalam mempersiapkan kegiatan ini, tak jarang, Andre dan
teman-temannya harus pulang malam untuk mengadakan rapat-rapat. Dan di
siang hari, mereka aktif mencari sponsor demi terselenggaranya kegiatan.
Lelah. Inilah yang dirasakan Andre dan jajaran kepanitiaanya.
“Kamu kenapa?” Bram seakan menangkap kegalauan hati saudaranya yang
tengah termenung di sekret rohis. Ia memperhatikan bahwa Andre sedikit
melemah semangat dakwahnya. Andre hanya terdiam. “Ingat…, disana.. di
Pelestina.., saudara-saudara kita tengah berjuang. Apa yang kita lakukan
di sini, belumlah seberapa dibandingkan mereka,” ujar Bram sambil
menatap dalam kepada Andre. Andre merasa malu, karena Bram mengetahui
kegalauan hatinya. Dan ucapan Bram itu seakan menjadi air sejuk di
tengah kegersangan hatinya.
Hari H pun akhirnya datang. Andre melakukan briefing kepada panitia,
saat pagi hari. Tiket telah terjual habis, bahkan masih ada yang ingin
memesan tiket. Dan diperkirakan ruangan akan melebihi kapasitas. “Semoga
Allah selalu meluruskan niat-niat kita saat menapaki jalannya. Hadir di
sini semata-mata karena Allah,” ujar Andre untuk memotivasi panitia.
Seluruh sie melaporkan tugasnya. Cek dan ricek.
Ticketing di depan ruangan seminar telah bersiap-siap. Semua anggota
rohis memakai jaket almamater. Mereka bak tentara-tentara Allah yang
bersiap-siap di posnya masing-masing. Acara ini mendapat sambutan yang
sangat baik dari para dosen, pun mahasiswa. Para mahasiswa
berbondong-bondong tertarik untuk mengikuti program menthoring yang
diselenggarakan oleh rohis.
Kesolidan Antar Departemen
Bram dan Andre telah menyiapkan 20 menthor. Menthoring diadakan untuk mendidik seorang muslim agar akidahnya bersih, akhlaknya solid, ibadahnya benar, pikirannya intelek, tubuhnya kuat, mampu memanfaatkan waktu, dan bermanfaat bagi orang lain. Dari seminar itu, paling tidak, terbentuklah 20 kelompok menthoring, yang masing-masing kelompok, ada 8 orang. Itu berarti ada 160 orang yang terekrut melalui seminar tersebut.
Karena kesolidan Departemen Pengembangan Sumber Daya Muslim (DPSDM)
dan Departemen Syi’ar, maka proses rekruitmen dan pembinaan berjalan
lancar. Bram, Roy, Zaid dan Andre hanya bisa mengucap hamdalah akan
kemenangan ini.
Berbondong-Bondong Berjilbab
Sita tengah sibuk mendata barang-barang di sekret. Pintu sekret terbuka dan… Sita melihat rok panjang berwarna hitam. Ia mendongak ke atas dan terlihatlah wajah Riska yang sedang tersenyum malu-malu dengan jilbab putihnya. Untuk sesaat Sita terperangah, dan kemudian cepat-cepat tersadar dan memberikan selamat kepadanya. Sita memeluk Riska erat sekali. Alhamdulillah… ujarnya.
Semenjak itu, bagaikan kartu domino. Mahasiswi yang lainpun
berjilbab. Selama sebulan, sudah ada 20 orang yang berjilbab. Bahkan
sampai muncul istilah ditengah-tengah mereka bahwa ada “Taubat massal.”
Suasana sekret akhwat kian ramai dihiasi canda tawa para akhwat. Tak
jarang mereka melakukan aksi smack down, antar mereka. Mereka semua
bersama-sama membantu gerak da’wah. Dan Andre senantiasa mengetuk
jendela akhwat agar tidak terlalu berisik. Hi..hi..hi… para akhwat
bukannya diam, tetapi semakin ramai. Andre hanya geleng-geleng kepala.
Dan Bram tersenyum melihat sikap Andre.
Persiapan Dauroh
Rohis mengadakan dauroh (pelatihan) yang merupakan alur terakhir dari organisasi tersebut. Bram, Andre, Zaid dan Roy melakukan survey di daerah Gunung Bunder. Mereka berempat memakai ikat kepala putih dan membawa ransel besar. Persiapan untuk naik gunung.
Mereka telah mempersiapkan dauroh ini selama satu bulan lebih. Waktu,
tenaga, pikiran dan juga uang, mereka korbankan demi terselenggaranya
kegiatan dauroh tersebut. Jalur-jalur yang akan dilalui peserta, mereka
beri tanda. Namun tak terasa, malam telah menjelang. Dan sesuatu yang
aneh terjadi, mereka tak bisa menemukan jalan pulang. Padahal seharusnya
jalan yang dilalui tidaklah terlalu sulit. Mereka kembali menyusuri
jalan. Hawa dingin dan malam yang pekat. Hanya berbekal dua senter.
Pukul 22.00. Mereka kemudian sadar bahwa sedari tadi hanya
berputar-putar di satu tempat. Bram berkata, “Sepertinya ini sudah bukan
dunia manusia lagi, sebaiknya kita membaca ayat kursi.” Andre, Roy dan
Zaid mengiyakan. Dan sepanjang perjalanan, mereka membaca ayat kursi.
Dengan doa, zikir dan tawakal, mereka akhirnya dapat turun gunung dengan
selamat. Allahu Akbar!
Dauroh ini diikuti oleh 160 orang peserta. Mukhayyam selama 3 hari 2
malam. Tenda-tenda dibangun sendiri oleh peserta. Ikhwan dan akhwat
berlomba mendirikan tenda masing-masing. Dauroh ini diisi dengan out
bond, ceramah dan aneka games. Mendaki gunung. Dan yel-yel kelompok yang
semakin menyemarakkan suasana.
Usai kegiatan, mereka semua berfoto bersama dengan pakaian penuh
lumpur. Wajah puluhan ikhwan terlihat sangat gembira, dengan ikat kepala
putih dan slayer biru. Para ikhwan berfoto sendiri dan berbaris rapi.
Dan puluhan akhwatpun berfoto sendiri di tempat lainnya. Jilbab-jilbab
mereka yang rapi, berkibar tertiup angin gunung. Mereka semua terlihat
sangat kompak. Andre mengabadikan event itu dengan kameranya.
Bram Menikah
Bram bercerita pada Andre bahwa ia akan menggenapkan setengah diennya dan Insya Allah dalam waktu dekat. Andre turut bahagia mendengar penuturan saudaranya itu. Namun Bram sendiri belum tahu siapa orangnya, karena ia percaya sepenuhnya kepada pilihan ustadznya. Mendengar itu, Andre percaya bahwa Allah akan memberi yang terbaik untuk Bram.
Seminggu kemudian Bram mendapat sebuah amplop dari ustadznya. Dengan
hati berdebar, namun tetap tenang, ia membuka biodata sang akhwat. Bram
termangu membaca nama calonnya itu… Sita Anggraini… Ya Rabbi… Sungguh
tak akan lari gunung di kejar, gumam Bram.
Di tempat lain…, Sita juga menerima amplop dari murabbiyahnya dengan perasaan tenang. Ketika ia membuka dan membaca nama calonnya…. Bram Adhiyaksa…, Sita setengah berbisik menyebut nama itu. Ya Rabbi…
Proses ta’aruf (perkenalan) Bram dan Sita berlangsung singkat. Bram datang meminang ke rumah Sita. Pernikahan berlangsung sederhana dan menggunakan hijab yang berupa tanaman-tanaman. Puluhan aktivis rohis datang pada acara yang sangat bersejarah dalam kehidupan manusia itu. Lagu-lagu nasyid diputar saat itu. Bram yang gemar dengan nasyid Izzis dan Shoutul Harakah terpaksa harus menggantinya dengan nasyid yang slow, karena tak mungkin di hari perhikahannya ia memutar nasyid genderang perang.
Keluarga Pejuang
“Jika bapak-bapak, anak-anak, suadara-saudara, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih baik kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya (dari) berjihad di jalan-Nya. Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik” (QS. 9:24).
Suatu hari Bram merasa gundah, kalau berangkat istri cemberut,
padahal sudah tahu nikah dengannya risikonya tidak dapat pulang malam
tapi biasanya pulang pagi, menurut bahasa Indonesia kontemporer untuk
jam diatas 24.00. Dia katakan pada Sita, “Dek…, kita ini dipertemukan
oleh Allah dan kita menemukan cinta dalam dakwah. Apa pantas sesudah
dakwah mempertemukan kita lalu kita meninggalkan dakwah. Saya cinta kamu
dan kamu cinta saya, tapi kita pun cinta Allah”. Bram pergi menerobos
segala hambatan dan pulang masih menemukan sang permaisuri dengan wajah
masih mendung, namun membaik setelah beberapa hari.
Aksi 12 Mei
Kepada para mahasiswa yang merindukan kejayaan
Kepada rakyat yang kebingungan di persimpangan jalan
Kepada pewaris peradaban yang telah menggoreskan,
Sebuah catatan kebanggaan di lembar sejarah manusia
Wahai kalian yang rindu kemenangan
Wahai kalian yang turun ke jalan
Demi mempersembahkan jiwa dan raga
Untuk negeri tercinta
Kepada para mahasiswa yang merindukan kejayaan
Kepada rakyat yang kebingungan di persimpangan jalan
Kepada pewaris peradaban yang telah menggoreskan,
Sebuah catatan kebanggaan di lembar sejarah manusia
Wahai kalian yang rindu kemenangan
Wahai kalian yang turun ke jalan
Demi mempersembahkan jiwa dan raga
Untuk negeri tercinta
Rasulullah SAW bersabda, “Allah akan menaungi pemuda yang berani
mengatakan yang haq di depan penguasa yang zalim.” Berlandaskan hadits
ini, aksi-aksi mahasiswa marak di berbagai daerah di tanah air.
Dan Aksi 12 Mei. Aktivis rohis yang bergabung, berjumlah dua ratus
orang lebih. Bram ikut memimpin gerakan mahasiswa untuk merobohkan rezim
Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Bram dan aktivis rohis
lainnya, mendesain sebuah aksi turun ke jalan, untuk kali yang pertama.
Namun tak disangka, aparat bersikap repsesif. Mahasiswa berlari ke dalam
kampus menyelamatkan diri dari tembakan aparat. Bram yang berada di
depan terkena tembakan peluru di perutnya. Seorang Satgas dari Senat
berhasil menariknya ke dalam kampus sebelum sempat dipukuli oleh aparat.
Dan yang terjadi selanjutnya mirip dengan perjuangan intifadah rakyat
Palestina. Dimana mahasiswa berusaha mempertahankan diri dengan
melemparkan batu, botol aqua dan apa saja yang bisa dipungut di jalan
kepada aparat yang bersenjata api.
Balasan yang ‘sangat amat baik sekali’ dari aparat keamanan. Tiap
kali terdengar letusan senapan yang keras dan menggetarkan kaca-kaca di
Gedung M, massa mahasiswa spontan berteriak ‘Allahu Akbar’. Mahasiswa
yang tidak kuat menahan emosi berteriak-teriak istighfar dan mengutuk perbuatan aparat bermoral binatang. Karena bantuan alat-alat medis yang kurang, korban dibawa ke Gedung I.
Inna Lillahi Wa Ina Lillahi Roji’un, mahasiwa yang sedang berbaring
ini sudah tidak bernyawa. “Tidak ada nafasnya!” seru seorang rekan
ketika tidak merasakan aliran nafas dari hidungnya. Tidak kuat menahan
emosi yang sedang terjadi, beberapa mahasiswa beristighfar menyebut nama
Allah Swt, dan lainnya menyerukan untuk mengadakan pembalasan, sebagian
lagi berusaha menahan emosi rekannya. “Tidak ada gunanya dilawan”,
“Jangan ada korban lagi”, semuanya mundur, rekan kita sudah ada yang
meninggal, Mundur semua!” jerit beberapa rekan mahasiwa.
Mahasiswa-mahasiwa yang berada di barisan depan terus melempari petugas
dan berteriak-teriak histeris. Kabar kematian rekan mahasiswa tampaknya
malah membakar emosi mahasiswa barisan depan tersebut.
Bram Meninggal
Bram dalam kondisi kritis. Darah mengalir deras. Teman-teman segera membawanya ke rumah sakit. “Bram…. Bram….,” panggil Andre dengan wajah sangat cemas. Bram melihat wajah Andre, semula jelas… namun pandangannya kabur dan semuanya menjadi gelap.
Sudah satu bulan Bram ada di rumah sakit. Banyak aktivis yang menjenguknya. Dan pada minggu ke enam, Bram sudah diperbolehkan pulang
ke rumah. Namun sejak penembakan itu, Bram tak bisa lagi berjalan
seperti biasa. Karena pukulan keras di kepalanya dari aparat, membuatnya
sering pusing. Pun tembakan di perutnya, meninggalkan luka yang
membekas dan terkadang sangat sakit ia rasakan. Namun meskipun demikian,
Bram masih mengontrol jalannya aktivitas da’wah di kampus melalui
HPnya. Terkadang para ikhwah bertanya tentang apa yang harus mereka
lakukan dalam da’wah. Ataupun sekedar ber-sms untuk bertanya tentang
Islam. Dan hal itu sudah menjadi kebiasaan bagi Andre.
Suatu hari, ada rapat mendesak yang membutuhkan kehadiran Bram. Walau
sang isteri sudah berusaha mencegahnya, namun Bram tetap bersikeras. Ia
dijemput Andre. Dan mereka bersama-sama menuju tempat syuro. Syuro itu
berlangsung satu hari penuh.
Pukul 02.00, Bram tiba di depan rumah. Ternyata sang isteri tercinta
telah menantinya. Bram duduk di kursi tamu, melepas kepenatan. Sita
berjongkok di hadapan Bram dan membukakan kaos kakinya. “Wah…, Mama ..
baik sekali,” ujar Bram dengan nada lembut. Sita terdiam. Ia
menyunggingkan senyum. Entah mengapa, hari ini perasaan Sita tidak enak.
Ia ingin selau berada di dekat suaminya. “Air panasnya sudah siap,
Bang…,” Sita mengambilkan handuk. Bram terduduk di kursi sambil memegang
agenda syuro. Ia segera membersihkan diri malam itu.
Saat subuh menjelang. Suhu badan Bram sangat tinggi, ia menggigau.
Sita panik, tetapi ia tetap berusaha berfikir jernih. Ia segera
menghubungi abang kandungnya yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Mereka
lantas bersama-sama membawa Bram pergi ke rumah sakit.
Semua ikhwah menjenguknya. Sudah seminggu Bram ada di rumah sakit.
Sita senantiasa membacakan Al Qur’an di samping Bram. Sakitnya kian
memburuk.
**
Suatu malam…. Bram memanggil Sita… dan memberi isyarat agar Sita
mendekat. Sita segera mendekatkan telinganya di dekat wajah Bram. Ia
berwasiat, “Dek… jaga diri baik-baik. Dirikan shalat. Jaga anak kita
nanti, didik ia menjadi mujahid di jalan Allah,” ujar Bram. Sita yang
kandungannya telah berusia delapan bulan, sudah tak terbendung lagi air
matanya. Ia menangis terisak-isak. Demi mendengar isakan tangis Sita,
Andre terbangun dari tidurnya dan mendekati Bram. Beberapa ikhwan yang
tengah menunggu di luar kamar pasien, juga terbangun. Bram menghadapi
sakaratul maut. Sita dan Andre membimbing Bram agar mengucapkan “Laa
illaha ilallah…”, namun lidah Bram yang setiap harinya memang tak lepas
dari zikir, dapat dengan lancar mengucapkannya. “Innalilahi wa inna
ilaihi raji’un….” Andre mengucapkannya dengan nada tertahan, ketika
tubuh Bram sudah lemas dan terbujur kaku.
Semua ikhwan yang menyaksikan hal itu, terdiam. Kepala mereka tertunduk…
Sepeninggal Bram, semua yang dirintisnya membuahkan hasil. Demi
mendengar kisah kegigihannya dalam menegakkan Islam, telah membangkitkan
militansi puluhan aktivis lainnya. Dan dari puluhan aktivis ini,
lahirlah mujahid-mujahid baru. Regenerasi terus berlanjut. Mewariskan
nilai-nilai keislaman yang telah Bram tanamkan di dalam diri
teman-temannya. Pun bagi Andre, Bram adalah sosok teladan yang selau
memberi motivasi kepada dirinya. intanshurullah yan shurkum wa yutsabbit
aqdamakum.
(Tahun 2004)
Penutup
Kakek itu masih menatap tajam para mahasiswa dan mahasiswi yang ada di hadapannya. Ia berkata, “Wahai pemuda! Kalian tidak lebih lemah dari generasi sebelum kalian, yang dengan perantaraan mereka Allah membuktikan kebenaran manhaj ini. Oleh karenanya, janganlah merasa resah dan jangan merasa lemah. Kita akan menempa diri, sehingga setiap kita menjadi seorang muslim sejati. Allah tidak menghendaki kecuali menyempurnakan cahaya-Nya, meski orang-orang kafir tidak menyukainya,” ujarnya.
Kakek itu mengucapkan panjang lebar tentang arti kemenangan da’wah.
Dan tibalah saat sesi tanya jawab. Sang moderator berkata, “Ya, telah
kita dengarkan tausiah-tausiah dari syeikh kita, Syeikh Andre. Seperti
kita ketahui bersama, beliau juga pernah kuliah di kampus ini dan
menjadi salah satu pelopor bangkitnya Islam di kampus kita tercinta.
Maka jangan sia-siakan kesempatan ini untuk bertanya.” Beberapa orang
dengan serentak, berebutan dan mengangkat tangan untuk bertanya.
Usai acara, Andre bersiap-siap shalat berjamaah di masjid kampus
bersama-sama dengan para mahasiswa. Ia memandangi perpustakaan yang dulu
pernah ia dan Bram susun. Terlintas kembali kenangan itu, saat Bram
berkata kepadanya, “Buku- buku adalah sumber ilmu.”
Andre kemudian menjadi imam pada shalat Zuhur itu. Ia membaca surat
Al Hajj… dengan khusyuk… dan ketika sampai pada ayat intanshurullah yan
shurkum wa yutsabbit aqdamakum, Andre terisak… Ia mengenal betul bahwa
ayat inilah yang menjadi gerak juang saudaranya, Bram. Usai mengucap
salam, Andre terdiam dan melihat ada Bram, Roy dan Zaid di hadapannya.
Bram tersenyum kepadanya dan Andre membalas senyumnya. Andre menatap ke
langit-langit masjid dan ia melihat makhluk-makhluk yang tak pernah ia
lihat sebelumnya, bukan jin dan bukan pula manusia. Dan beberapa saat
kemudian, ia tersungkur di depan mimbar masjid.
Pak Andre!…. Seru jamaah shalat. Mereka berhamburan dan membopong
tubuh Andre. Dan mendudukkannya. “Innalillahi wa Inna ilaihi raji’un…,”
seru seorang dari mereka ketika tak ada lagi hembusan nafas dari Andre…
“Pak Andre belum meninggal, kita bawa beliau ke rumah sakit saja,” ujar
yang lainnya.
Mereka segera membawa Andre ke rumah sakit. Dengan raut wajah
berduka, dokter mengatakan hal yang sama, “Mohon maaf, Pak Andre… sudah
tiada.” Saat itulah semua jamaah tertunduk dan menitikkan air mata,
menangisi kepergian sang mujahid.
***
Ribuan jamaah ikhwan berduyun-duyun mengantar kepergian syeikh mereka
ke tempat peristirahatan. Langit mendung seakan turut menangisi
kepergian mujahid-mujahid Allah di muka bumi. Bram, Zaid, Roy dan
Andre.. Makam mereka terletak berdampingan. Mereka bertemu karena Allah,
saling mencintai karena Allah. Rasulullah SAW bersabda, “Di sekitar
Arsy ada menara-menara dari cahaya. Di dalamnya ada orang-orang yang
pakaiannya dari cahaya dan wajah-wajah mereka bercahaya. Mereka bukan
para Nabi dan syuhada’, tetapi para Nabi dan Syuhada’ iri pada mereka.
“Ketika ditanya oleh para sahabat, Rosulullah saw menjawab, “Mereka
adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, saling bersahabat
karena Allah, dan saling kunjung karena Allah”(HR. Tirmidzi).
Mereka telah mengukir sejarah perjuangan yang indah. Sesungguhnya dakwah
ini akan terus berlanjut hingga hari kiamat.
Saat semua pengantar Andre telah pulang, ada beberapa pemuda gagah
yang masih tertegun di samping makam-makam itu. Salah seorang dari
pemuda berkata, “Ayah, kami akan meneruskan perjuanganmu, hingga tak ada
lagi fitnah dan agama ini hanya milik Allah…,” ujarnya mantap. (ANW)
Sumber : Akhawmuslimah.com
0 komentar:
Posting Komentar